Perkembangan penerapan Sistem Manajemen Lingkungan berangsur naik sejalan kebutuhan bisnis di dunia industri. ISO 14001:2004 sebagai standar internasional penerapan sistem manajemen lingkungan mengalami berbagai kendala dalam konsistensi implementasi di lapangan. Sertifikat ISO 14001 hanya sebagai formalitas bisnis. Manfaat penerapan sistem ini sama sekali belum bisa dirasakan, apalagi tingkat awareness di setiap fungsi dan tingkatan dalam perusahaan masih mengutamakan peningkatan kualitas produksi.

Kasus berikut bisa sedikit membuka wawasan akan pentingnya konsistensi penerapan sistem manajemen lingkungan di perusahaan.



1. Bila kejadian/kecelakaan berdampak pada lingkungan begitu besar, berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan ?
2. Sudah memperoleh ISO 14001 namun begitu "Audit Proper Lingkungan" dari KLH masuk kategori merah atau hitam. Sanksi (Badan / Denda) yang akan diterapkan pemerintah, akan ditanggung oleh siapa ?
3. Biaya pembuangan dan pengelolaan limbah begitu besar, bukan kerugian kah ?
4. Kontribusi kerusakan lingkungan semakin besar disebabkan oleh industri, Jakarta krisis air bersih tahun 2015, harga air minum Rp.100.000 / liter ?
5. Banyak kasus yang diakibatkan oleh kita sebagai pelaku usaha, kapan perhatian kita akan konsisten pada lingkungan ? Belum tentu kita bisa pensiun lho... Keburu banyak bencana. Keseimbangan lingkungan yang bertambah buruk mengakibatkan bencana alam yang bergantian dan berkepanjangan.

Apa yang seharusnya kita lakukan ?
Bagaimana meningkatkan kinerja lingkungan ?
Bagaimana kontribusi manajemen lingkungan bagi perusahaan ?
Bagaimana metoda Cost Reduction yang tepat ?
Bagaimana meningkatkan efisiensi disegala bidang terkait manajemen lingkungan ?

Response 1 :

Masalah yang tertulis ini benar-benar terjadi di tempat saya juga kok. Dalam Sistem RoHS (Restricted of Hazardous Substances) mungkin ini sistem yang lebih spesific. bagaimana menangani barang proses yang berisi Hazardous Substance (HF) dan mana yang Non HF. Jadi penanganan diprosesnya juga berbeda-beda, sampai penggunaan bahan pembantunya juga dievaluasi. Dalam evaluasi raw material ataupun material pembantu yang diperlukan tidak hanya MSDS nya dalam RoHS tetapi juga dipersyaratkan kandungan isinya. Demikian pula pengaturan mengenai pembuangan limbahnya. Siapa yang membuang, siapa yang mengangkut (harus ada ijin kerja mereka). Bila dibuang, juga harus diketahui untuk apa kemudian?
Siapa yang menggunakan kemudian ?

Contoh kasus :

Ada masalah kecil yang mempunyai dampak besar, spidol Snowman warna merah dan biru mengandung HF (Pb) yang melebihi standard. Akhirnya semua Snowman diganti (selama ini Snowman dipakai untuk checked list dalam packing), tetapi pada dasarnya kita hanya mengetahui isi kandungannya bukan MSDS tetapi evaluasi material.

Ada juga dengan WD... apakah isi dari WD40 yang kita gunakan untuk menghilangkan scale... atau cairan lain? Semuanya mesti diketahui. Kita sudah minta ke suppliernya lalu kita lihat ke website mereka. Tidak ada kandungan yang dijelaskan. Ujung-ujungnya kita evaluasi sendiri karena untuk standard RohS mesti comply pada bulan July 2006.

Waktu saya meminta untuk evaluasi kandungan, masih terjebak oleh badan yang melakukan pengecekan. Di Indonesia, LIPI & Sucofindo diragukan karena kompetensi laboratoriumnya tidak kualifikasi dalam waktu pengerjaan, metoda dll (info saat meeting di customer). Bayangkan bila satu unsur dengan AAS, Plasma, dll minimal butuh $75. Harga di Indonesia per sample 500-700 ribuan. Yaaa... udah buat trick saja sehingga uang tidak keluar banyak.

Ada juga mengenai limbah, bila dibuang ke PPLI biayanya sekitar $70/drum. Akhirnya mencari ke tempat pembuangan limbah lain, seperti tempat pembuatan batu bata atau supplier yang bisa menangani ini dengan biaya lebih rendah.

Itu sebabnya banyak pengusaha yang lebih memntingkan penjualan atau produksi saja, karena memang peraturan yang jelas dan kemudahan-kemudahan lainnya belum bisa diperoleh. Jadi menurut saya harus ada implementasi yang tegas dan jelas mengenai aturan-aturan tersebut.

0 comments